Standar BRC dibagi ke dalam enam jenis standar yaitu BRC untuk Keamanan Pangan (Food Safety), Produk Konsumen (Consumer Product), Kemasan dan Bahan Pengemas (Packaging and Packaging Materials), Penyimpanan dan Distribusi (Storage and Distribution), Agen dan Broker (Agents and Broker), serta yang baru dikembangkan sejak 2016 yaitu BRC untuk Ritel (Retail). BRC untuk Keamanan Pangan adalah standar BRC yang pertama kali dikembangkan. Standar ini diperuntukkan bagi perusahaan yang terlibat dalam proses produksi atau pengolahan produk agrikultur menjadi produk pangan, termasuk industri pengolahan yang mencakup ranah penyimpanan dan pergudangan di dalam satu site atau pabrik yang sama. Untuk perusahaan yang khusus melakukan aktivitas penyimpanan dan pergudangan, standar BRC yang digunakan adalah BRC Storage & Distribution.
Mengapa BRC perlu diterapkan oleh industri-industri pangan di Indonesia?
Pertama, BRC Keamanan Pangan telah diakui oleh GFSI (Global Food Safety Initiative). GFSI adalah organisasi non-pofit dunia yang didirikan oleh pimpinan-pimpinan retailer ternama dunia untuk melakukan perbaikan sistem keamanan pangan dunia secara berkelanjutan. Saat ini, sertifikasi yang diakui GFSI dijadikan persyaratan bagi supplier yang ingin menjual produknya di 8 retailer ternama internasional yaitu Carrefour, Walmart, Tesco, Metro, ICA, Migros, Ahold, dan Delhaize. Selain retailer-retailer tersebut, konsumen dan pelaku-pelaku usaha lainnya di Eropa dan Amerika juga mulai menjadikan BRC dan sertifikasi GFSI lainnya sebagai persyaratan diterimanya produk pangan dari supplier. Oleh karena itu, industri pangan yang menerapkan sertifikasi BRC tidak hanya mampu melakukan ekspor, tapi juga dapat memperluas jangkauan pasarnya di berbagai negara khususnya Eropa dan Amerika.
Kedua, menerapkan standar yang telah diakui GFSI dapat menjadikan penjaminan mutu lebih efisien karena menghindari audit ganda dari berbagai klien atau distributor. Saat ini, standar keamanan pangan di dunia sangat beragam dan setiap standar mememiliki persyaratan, biaya dan audit sendiri. Hal ini yang menjadi latar belakang didirikannya GFSI, yaitu untuk harmonisasi standar keamanan pangan dunia untuk menghindari kebingungan yang timbul karena audit ganda dan duplikasi berkas persyaratan dan data yang sejenis ke klien yang berbeda. Dengan menerapkan standar yang diakui oleh GFSI, produsen pangan cukup menerapkan satu jenis standar yang diakui GFSI sebagai persyaratan untuk memasok produknya ke berbagai retailer. Standar-standar keamanan pangan yang telah diakui GFSI di antaranya BRC, IFS, SQF, Global GAP, dan FSSC 22000. Standar-standar ini dapat dikatakan setara tingkat penjaminan keamanan pangan karena GFSI telah melakukan benchmarking (perbandingan). Benchmarking adalah prosedur dimana sebuah standar keamanan pangan dibandingkan dengan GFSI Guidance Document, yaitu dokumen berisi acuan yang disusun oleh para expert dunia di bidang keamanan pangan. Proses benchmarking inilah yang menentukan apakah standar keamanan pangan tersebut akan diakui oleh GFSI.
Ketiga, standar BRC adalah standar berisi persyaratan-persyaratan terkait kondisi lingkungan dan operasional yang detil dan teknis. Standar BRC dikembangkan oleh para expert industri pangan sehingga menjamin bahwa skema keamanan pangan dalam standar BRC adalah yang terbaik. Auditor-auditor BRC dan lembaga sertifikasi yang berhak mengeluarkan sertifikat BRC juga harus melewati serangkaian prosedur pendaftaran dan training yang teliti untuk menjamin proses audit dan sertifikasi BRC yang dilakukan terhadap industri-industri terlaksana dengan ketat dan menghasilkan level keamanan pangan yang tinggi. Menerapkan kegiatan produksi pangan olahan yang sesuai dengan standar BRC bukan hanya berdampak positif terhadap jangkauan pasar dan pengakuan konsumen luar negeri namun juga memberi manfaat bagi perusahaan itu sendiri karena mengurangi resiko kegagalan produk akibat masalah keamanan pangan. Proses produksi dapat lebih efektif dan efisien dengan kondisi lingkungan dan operasional yang sudah terjamin keamanannya.
Saat ini, terdapat 180 site atau pabrik yang telah tersertifikasi BRC di Indonesia. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, dan India yang sudah mencapai angka berturut-turut 363, 555, dan 880 site. Hal ini mungkin disebabkan industri pangan Indonesia yang umumnya sudah puas hanya dengan menerapkan ISO 22000, HACCP, atau bahkan sebatas GMP (Good Manufacturing Process). Industri juga cenderung cukup puas apabila sudah menyandang gelar ‘eksportir’ meskipun nyatanya produk yang diekspor tersebut mungkin tidak dapat ditemui dengan mudah di toko-toko ritel mancanegara. Padahal, dengan dikembangkannya sertifikasi BRC di Indonesia akan turut berdampak terhadap ekspor produk pangan Indonesia yang berakibat pada meningkatnya devisa negara.
Pengembangan sertifikasi BRC di Indonesia dapat dimulai dari langkah-langkah kecil. Pencerdasan terhadap lembaga sertifikasi dan industri pangan di Indonesia mengenai pentingnya penerapan standar BRC mungkin akan terlihat dampaknya beberapa tahun ke depan bila dimulai dari sekarang. Pengenalan standar BRC sebagai bahan ajar kuliah di tingkat universitas kepada calon-calon praktisi industri pangan juga dapat membantu mempersiapkan industri pangan Indonesia untuk mulai menerapkan standar ini beberapa tahun ke depan.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.